Jakarta, bimasislam – Kasubdit Pembinaan Syariah Muhyiddin mengatakan selama matahari masih tetap, waktu shalat tidak akan berubah, hanya mungkin konversi waktunya berubah dan itu bisa disesuaikan. Misalnya, waktu dzuhur awalnya jam 12.00 menjadi jam 13.00.
“Ide apapun asalkan itu bagus dan bermanfaat saya setuju saja dan tidak ada masalah, yang pasti waktu shalat itu berdasarkan matahari” tegas H. Muhyiddin saat dimintai pendapatnya oleh bimasislam terkait wacana penyatuan zona waktu, di ruang kerjanya, Senin (12/3/2012).
Dia memprediksi bahwa kalau hal itu direalisasikan maka akan ada dampak sosial yang akan timbul. “pasti akan ada dampaknya, salah satunya adalah akan merubah kebiasaan orang” ujarnya.
Muhyiddin juga menegaskan, bahwa secara teori pihaknya sangat setuju dengan ide tersebut dan berharap instansinya diajak berdialog terkait gagasan yang akan merubah “kemapanan” tersebut.
Seperti diketahui, Subdit Pembinaan Syariah secara teknis dibebani tugas untuk melakukan penyuluhan dan pengembangan syariah, penentuan arah kiblat, pembuatan jadual shalat dan penentuan awal ramadhan, syawal dan dzulhijjah.
Sekedar Informasi, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Perekonomian saat ini sedang mematangkan rencana menyatukan wilayah waktu Indonesia dari tiga zona menjadi satu zona yang setara dengan GMT+8 atau saat ini seperti waktu Indonesia bagian tengah. Berbagai alasan menjadi latar belakang wacana tersebut, diantaranya adalah karena langkah ini dianggap akan mempercepat pertumbuhan ekonomi di Indonesia karena aktivitas ekonomi bisa dilakukan lebih dini setiap harinya.
Menanggapi wacana di atas, terjadi pro dan kontra. Para pengusaha dan perbankan dengan terang menyatakan sangat mengapresiasi ide tersebut. Namun, di satu sisi ada juga yang memberi catatan terkait wacana penyatuan zona waktu di Indonesia.
Profesor Riset Astronomi Astrofisika, LAPAN, melalui jejaring sosialnya mengungkapkan bahwa menjadikan Indonesia menjadi satu zona waktu, di samping berdampak positif mempersatukan, ada juga dampak negatif berupa potensi inefisiensi. Hal ini mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim yang harus melaksanakan kewajiban shalat dhuhur.
Dengan menerapkan zona waktu tunggal dengan rujukan UT + 8 jam dan waktu istirahat pukul 12.00–13.00, di Jawa bagian Barat dan Sumatera (dengan sebaran sekitar 40% penduduk Indonesia) pada akhir waktu istirahat pegawai Muslim masih melaksanakan shalat dhuhur. Artinya ada inefisiensi waktu dengan jeda untuk shalat, yang biasanya bersamaan dengan istirahat makan siang. Demikian tulis Prof. Dr. Thomas Djamaluddin.
Sementara itu, ditempat terpisah, Menteri Agama, H. Suryadharma Ali, menegaskan, zona waktu berubah tidak akan menganggu waktu shalat. “Waktu sholat tetap berpatok berdasarkan matahari. Sehingga tidak akan mempengaruhi lima waktu sholat, waktu sholat berdasarkan waktu setempat," tegas Menag kepada para wartawan di Jakarta, Kemarin (12/3/2012). (syam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar